SEJARAH NEGERI HUKURILA

Nenek moyang orang-orang Hukurila berasal dari tanah leluhur yang disebut “Nusa Ina” artinya Pulau Ibu, tetapi sekarang sudah dikenal dengan nama Pulau Seram yang terdiri dari kata Sera/Sira artinya mengeluarkan Ama artinya Bapa. Dari kata Nusa Ina dan Seram telah menerangkan tentang kelahiran sang Bapa Leluhur yang digelar Alifuru. Nama ini berasal dari kata AMALE artinya Bapa (Raja) dan UPU URU artinya moyang yang pertama (kepala). Tempat kelahiran bapa lelehur bangsa ALIFURU INA disebut NUNUSAKU, nama yang terdiri dari huruf N yang menampilkan identitas sebagai bagian dari bapa. Kata UNU yang artinya bertandan atau bertangkai, sedangkan kata SAKU/SA UKU artinya muncul/timbul. Nama yang keramat bagi bangsa ALIFURU ini mempunyai sebuah mitos/mite tentang kelahiran manusia di Pulau Seram/Nusa Ina. Tentang kelahirannya dapat diandaikan dengan keluarnya setangkai bunga dari batang Enau, pisang, pinang, atau kelapa. Kemudian dari pada itu, KAPUA UPU ILA KAHUARESY atau nama lainnya TUNI AI LESTALE LANITE KAITAPELE yang artinya Allah Pencipta langit dan Bumi.

Menurut versi ALIFURU INA tentang penciptaan manusia di bumi yaitu Matahari sebagai bapa dan sinarnya yang pertama menyentuh bumi sebagai Ibu, maka mengandunglah sang Ibu Bumi Sembilan zaman lamanya. Setelah genaplah waktunya maka lahirnya seorang anak manusia kemudian menjadi Bapak yang dimaksudkan dengan ALIFURU. Kemudian dimasa berikutnya lahirlah seorang wanita yang pertama dari pohon bambu yang juga dikenal sebagai pohon sejarah yang didalam bahasa tanah disebut AI UKENE artinya pohon yang pertama. ALIFURU kawin dengan wanita pertama maka berkembanglah dan bertambah banyaklah keturunan ALIFURU di NUNUSAKU.

Pada suatu masa munculah Empat Kepala dari keturunan ALIFURU yang mewakili Nafsu, sentimen, dan rasio yang saling bertentangan satu terhadap yang lain karena faktanya ketiga kepala ini tidak mampu hidup bersama dengan rukun dan harmonis, maka dengan demikian mereka telah melanggar hukum persekutuan awal yang telah ditegakkan oleh moyang-moyang di NUNUSAKU. Sebagai hukum SIRI PINANG yakni hukum yang berdasarkan kasih yang menyatakan bahwa “Kita Semua Satu Dari Satu Tubuh, dengan KAPUA UPU ILA KAHUARESY sebagai Kepala dan Totalitas”.

Percocokan yang ujungnya dengan perang saudara, peristiwa itu tersimpan didalam sebuah Kapata tua di NUSA INA yang berjudul LISA BATA/RISA BATA artinya angkat perang dinyatakan dalan Kapata itu bahwa memang betul sejak dahulu di NUNU SAKU ada tiga raja,  mereka keluar dari beringin besar disitu ada tiga batang air yang sama besar kasih hanyut pakaian untuk naik jadi raja diantaranya ada dua raja yang kuasanya sama tetapi keduanya punya hati tidak betul, lain kasih jatuh lain, mereka sering mengadu kekuatan.

Ditengah-tengah kehancuran persekutuan itu muncullah kepala yang ke empat yang melambangkan KUASA ROH dalam manusia memerintahkan ketiga kepala (raja) untuk pergi dari lokasi NUNU SAKU menjelajahi bumi masing-masing mereka dengan kelompoknya yang berada di bawah pimpinan mereka. Tetapi dijanjikan kepada mereka bahwa kapitan besar akan mengantar mereka kembali untuk memperbaharui persekutuan awal.

Sama seperti yang tertulis dalam kitab suci (Alkitab) “Tuhan Mengumpulkan Kembali Para Bangsa Supaya di Bawah Pemerintahan Yang Beranugerah itu Mereka hidup dalam Persekutuan dengan Dia dan Sama Sendiri”.

Setelah persekutuan itu ditegakkan kembali, mereka turun melalui tiga batang air dan memjelajahi bumi. Bangsa ALIFURU diluar NUNU SAKU juga dikenal dengan nama PAPUA yang terdiri dari kata APA-PUA yang artinya SIRIH PINANG menurut nama hukum persekutuan awal NUNU SAKU mereka tetap memekai nama PAPUA sebagai nama suku bangsa.

Menurut ahli sejarah VON HEIN GELDERN dalam bukunya menyatakan bahwa yang menyebarkan kebudayaan Mesolitikum (masa peralihan) di zaman batu (pra sejarah) antara Paleolitikum (zaman batu tua) dan Neolitikum (zaman batu baru/muda) yakni pelaku penyebarannya adalah suatu bangsa yang disebut bangsa PAPUA. Penyebaran kebudayaan Mesolitikum (masa peralihan) oleh VON HEIN GELDERN yang dilakukan oleh bangsa PAPUA sangatlah tepat demgan sejarah keluarnya kelompok-kelompok ALIFURU dari NUNU SAKU ke seluruh penjuru bumi.

Sejarah ALIFURU telah membagi kelompok manusia menjadi empat ULI/RUMPUN, mereka masing-masing dengan identitasnya khusus yang menentukan fungsinya pembagianya dapat disebutkan sebagai berikut :

  1. ULI MARNA menempati WAEL TALA tegolong PATA LIMA menempati bagian selatan dan menguasai tanah dengan bendera yang berwarna hitam
  2. ULI TUNI menempati WAELE SAPALEWA tergolong kelompok PATA SIWA HITAM menempati bagian Utara dan mengiasai matahari dengan bendera yang berwarna merah
  3. ULI MAHU menempati WAELE ETI tergolong PATA SIWA PUTIH menempati bagian Barat  dan menguasai air dengan bendera berwarna hijau
  4. ULI MONY menempati WAELE BUTUI tergolong KAKEHAN menenpati bagian Timur menguasai udara dengan bendera yang berwarnah kuning .

Setiap ULI dipimpin oleh satu MALESI (BAPA LESI) yang artinya Bapa yang berkuasa. Kelompok yang dibawah kepala yang mewakili Kuasa Roh yang tetap menempati dan menguasai NUNU SAKU sampai dengan hari ini. Mereka tetap hidup namun tidak kelihatan.

NEGERI PERTAMA

Nenek moyang kami mendiami  negeri yang pertama diluar NUNU SAKU tepatnya disekitar hulu sungai SAPA LEWA. Atas petunjuk Maha Yang Kuasa dan moyang-moyang memberi nama kepada negeri yang pertama yaitu “UDEN”. Mereka tinggal berabad-abad lamanya, mereka hidup dari berburu dan meramu tingkat awal sampai tingkat lanjutan. Dimasa itu mereka masih hidup pada era semi nomaden diantara menetap dan berpindah-pindah.

NEGERI KEDUA

Dari negeri yang pertama mereka berpindah lagi ketempat yang kedua masih berada diseputar hulu sungai SAPA LEWA. Juga atas petunjuk Maha Yang Kuasa dan moyang-moyang negeri yang kedua diberi nama “IYA BARA BUKU WEI” .

Menurut asal usul kata IYA berasal dari kata LAIYA artinya RAJA, kemudian BARA artinya terbuka, BUKU terdiri dari huruf B yang menunjukkan hal-hal yang bersifat spiritual, biasanya berbentuk ujung panah/ujung tombak yang mengarah ke langit, sedangkan UKU dari kata UKUI artinya pucuk, dan WEI artinya potongan. Nama IYA BARA BUKU WEI menggambarkan bagaimana manusia ALIFURU itu lahir. Disini jelas bahwa Allah telah membuka tanah atau bumi untuk mengeluarkan manusia sebagai pucuk/tunas yang tumbuh menjadi pohon pertama dalam sejarah umat manusia. IYA BARA BUKU WEI itu diandaikan dengan keluarnya tangkai bunga dari pohon yang beruas-ruas seperti pohon pinang. Sagu, kelapa, dll. Oleh sebab itu, nenek moyang sangat mengsakralkan pohon pinang. Dalam kehidupan bangsa ALIFURU INA meraka menyebutkan hukum persekutuan dengan nama SIRIH PINANG.

NEGERI KETIGA

Setelah berabad-abad nenek moyang tinggal di IYA BARA BUKU WEI, kini giliran mereka mencari tempat yang baru yang pasti akan lebih luas dan lebih banyak bahan makanannya, baik untuk diburu maupun untuk diramu.

Tempat kediaman yang ketiga ini masih ada juga disekitar hulu sungai SAPA LEWA, kemudian atas atas petunjuk Maha Yang Kuasa dan moyang-moyang negeri yang tiga diberi nama DAMALA. Dari asal usul katanya dapatlah kami terangkan sebagai berikut : DA dari kata ada artinya tubuh yang berspiritual/rohani, AMA artinya Bapa, dan ELA artinya besar. Nama ini sebenarnya bila dibaca secara lengkap yaitu ADA AMA ELA artinya Bapa Yang Maha Besar di Surga. Ini adalah salah satu metafora dari Allah yang dikenal dan dikasih yaitu Allah sebagai Bapa bagi mereka. Atas pengakuan iman nenek moyang maka berkenanlah mereka menyebut nama negeri yang ketiga adalah DAMALA.

Dari sumber sejarah tutur Bapak Menas Taniwel (Raja Hukuanakota) bahwa ketika nenek moyang berada di DAMALA, mereka bersepakat untuk memperbaharui janji para leluhurnya di NUNU SAKU dan kemudian mereka membagi dirinya menjadi dua kelompok (suku) yakni suku ALUNE dan WEMALE. Asal nama ALUNE dari kata Allah Unui artinya bulir padi (tangkai padi) yang melambangkan kerendahan hati, nama ini diletakkan pada suku ALUNE  sebagai dasar kehidupan sekaligus menjadi filsafah hidup orang ALUNE. Sedangkan asal nama WEMALE dari kata MAPEUWE dan MAMALE artinya memulai hidupnya dari yang paling bawah. Kedua suku ini mempunyai pandangan hidup yang sama yaitu hidup dengan penuh kerendahan hati. Nenek moyang ALIFURU dahulunya hidup bersama-sama kini mereka harus berpisah satu dengan yang lain pada masing-masing wilayahnya. Suku ALUNE menempati wilayah bagian selatan sedangkan ALUNE menempati wilayah bagian utara

NEGERI KEEMPAT (ALUNE)

Negeri ini merupakan negeri pertama dari suku ALUNE, negeri ini diberi nama “LOINE” yang berasal dari kata LO artinya satu ikatan (persekutuan) dan INANE artinya ubi kayu. Dalam pengertiannya hidup mereka seperti satu rumpun ubi kayu. Dari satu pohon mengeluarkan beberapa isinya. Negeri ini merupakan negeri yang paling lama didiami sehingga boleh dikatakan sebagai kampong tua dari suku ALUNE. Karena sudah terlalu lama mereka tinggal sehingga suatu ketika mereka ingin pindah (mencari tempat yang baru) setelah mendapat persetujuan dari maha kuasa dan moyang-moyang maka segeralah mereka memindahkan tempat kediaman mereka ke tempat yang berikutnya. Dizaman itu mereka masih tergolong masyarakat berburu dan meremu tingkat lanjut.

NEGERI KELIMA

Nenek moyang mendirikan negeri yang kelima dimana tumbuh banyak pohon-pohon bambu. Pada negeri yang kelima, nenek moyang ALUNE juga tinggal beribu-ribu tahun dalam sukacita hidup, tetapi suatu ketika muncul masalah yang membuat negeri ini mengalami kesusahan yang hebat. Negeri yang kelima merupakan kenangan sejarah bagi anak cucu suku bangsa ALUNE untuk selama-lamanya. Negeri yang kelima ini dinamakan TEINEPEIWEI . Nama terdiri dari kata TEINE nama pohon bambu, kata PEI artinya pisang hutan, dan WEI artinya bagian. Jadi lengkapnya bagian dari pohon pisang hutan. Nama ini mengingatkan mereka pada moyang mereka yang keluar dari pohon pisang hutan (menurut mitos ALIFURU). Pada negeri yang keliama ini, nenek moyangnya mengalami banyak kesusahan antara lain tidak mendapatkan garam lagi dari pantai karena pada zaman itu telah berdatangan orang-orang dari luar/pendatang mengakibatkan banyak orang tua yang sakit (bengkak).

Dalam sejarah juga mengatakan bahwa pada masa itu telah memiliki peningkatan corak hidup yang dibawa oleh migrasi jenis manusia malayang/mongoloid (melayu astronesia) yang   memasuki Nusantara bagian Barat sedangkan Australomelanesit bergeser ke arah Timur menduduki kepulauan Maluku termasuk pesisir Pulau Seram. Kedatangan mereka pasti membawa dampak positif dan juga negatif bagi masyarakat NUSA INA.

Perkembangan dan perubahan zaman membuat nenek moyang di pegunungan semakin menderita. Dalam kondisi seperti itu telah mendorong nenek moyang untuk turun kedaerah pantai. Mereka turun secara berkelompok masing-masing dengan pemimpinnya dengan tujuan utama untuk mencari garam. Banyak kelompok yang turun meninggalkan negeri TEINEPEIWEI masing-masing menurut jalannya sendiri. Sebelum nenek moyang kami turun meninggalkan saudara-saudaranya mereka berkumpul dan menyanyikan sebuah lagu oleh ibu-ibu yang tinggal yang bunyinya demikian :

Soa Lora Tule
oa Lora Tule
Soa Lopai Pola
Soa Lopai Pola
Tebu Porola Keune
Tebu Porola Keune

Kata-kata lagu ini bila diartikan sebagai sebuah perahu yang hendak berlayar meninggalkan pelabuhannya serta bercerai dengan sanak saudaranya dengan tujuan mencari hidup untuk kita semua. Bagi yang tinggal tidak memberikan apa-apa sebagai bekal hanya beberapa potong tebu untuk menghilangkan hausnya di perjalanan. Nenek moyang kami berjalan memasuki hutan, menyebrangi sungai, masuk rawa dan tibalah mereka pada suatu tempat disitulah mereka berdiam untuk sementara. Tempat itu diberi nama “KUKULILA”. Nama KUKULINA bila diartikan sebagai berikut : huruf K adalah sebuah penampilan secara fisik dengan lunak dipergunakan untuk penampilan figuratif/spiritual.

Iya berbentuk ujung panah yang mengarak ke lagit yang menampilkan sebuah kekuatan spiritual dalam bentuk terciptalah kedua tangan yang diarahkan menyatu di atas kepala tertuju ke langit dalam hal mana ujung jari kedua tangan saling menyentuh,  dalam bentuk UKUI artinya pucuk. Kata LILA artinya sebar/terbuka. Kata ini menggambarkan kehidupan awal pada mulanya bersatu dan kini mereka harus berpisah.

Berabad-abad nenek moyang tinggal di KUKULILA tetapi pada suatu saat mereka harus pindah ke tempat lain. Dari KUKULILA nenek moyang berpindah ke suatu pempat yang disiti nenek moyang bisa mendapatkan garam lebih banyak. Tempat itu diberi nama WAISARISA oleh moyang-moyangnya. WAISARISA terdiri dari kata WA-HUWANA artinya hidup ISA-ISALALE artinya muntah/keluar, dan RISA artinya perang/susah. Tempat ini menjadi tempat musyawarah saniri tiga batang air untuk menentukan kemana arah nenek moyang hidup selanjutnya. Ternyata dari WAISARISA nenek moyang ditinjuk untuk berjalan menuju gunung SOLOHUA adalah gunung yang dikeramatkan oleh suku ALUNE. Nama SOLOHUA artinya pemimpin  yang hidup, dalam pengertiannya gunung ini merupakan tempat perlindungan yang hidup karena banyak kelompok yang pernah hidup disitu sebelum turun ke pesisir pantai. Perjalanan nenek moyang kita menuju SOLOHUA tepatnya pada sebuah bukit di kaki gunung SOLOHUA yang disebut SELA/MESE ELA artinya hidup yang damai dan disitulah mereka berdiam untuk kesekian kalinya.

Ketika nenek moyang hukurila berada di gunung SELA mereka bertemu dengan salah satu kelompok yang turun dari SABAING DATALE. Kelompok ini namanya TOUHATUMEIT, nama soa ini kemudian merupakan identitas dari marga PORWAILA menjadi TOUPEA (soa) HATUMETE’ANG (matarumah). Soa ini terpisah dari 5 soa yang sekarang berdiam di  negeri SERUWAWAN (SBB).

Nenek moyang turun dari gunung SELA untuk hidup di tepi pantai tepatnya di kepala air WAILATU. Daerah itu terdapat sungai yang bercabang dua yang mengalir dari sebelah timu namanya WAI TENE sedangkan disebelah barat namanya WAI LATU. Kedua sungai itu bertemu menjadi satu batang air yang diberi nama WAI HIRA. Nenek moyang Hukurila membangun negerinya kemudian diberi nama MAYARI. Nama MAYARI  terdiri dari kata MA – AMAN artinya negeri IYA – LAIYA artinya Raja, dan RI – ARIKE artinya bersambung/berkumpul. Nenek moyang hidup disitu berdampingan dengan beberapa negeri lain yang dapat kami sebutkan antara lain Negeri Seith, Tihulale (sampai sekarang), dan negeri-negeri ini termasuk didalam satu gandong (ada dalam daftar pela).

Negeri MAYARI dipagari dengan batu-batu sungai yang masih tetap kokoh sampai hari ini walaupun sudah tidak didiami oleh nenek moyang kita. Sewaktu nenek moyang berada di MAYARI sudah ada perubahan kehidupan yang dibawa oleh pendatang baru (imigrasi) yaitu orang Austranomelanesit yang bergeser ke timur kini berbaur dengan orang-orang yang datang dari luar Nusantara yaitu dari Vietnam mereka memasuki perairan Kepulauan Maluku sekitar  300 tahun SM. Pendatang baru ini membawa banyak perubahan karena mereka telah menguasai teknologi pertanian, dan juga kemampuan teknik pengambilan logam, serta teknik pengambilan barang logam. Hasil teknologi ini dikenal dengan budaya DONG SON. Gelombang ini  ketingkat lebih maju dari bangsa Melayu gelombang pertama. Ini berarti nenek moyang kita sewaktu berada di MAYARI mereka telah memasuki zaman perundagian.

Nenek moyang Negeri Hukurila di zaman itu mengalami pembangunan yang semakin  teratur, negerinya dipagari dengan batu-batu, selain itu mereka memiliki cara mengolah sagu dengan baik , belajar membuat alat-alat musik, menenun, dll. Nenek moyang orang Hukurila, Tihulale, dan Seith, dan negeri-negeri lain juga hidup pada masa itu dalam sebuah persekutuan yang disebut gandong. Nenek moyang hidup berabad-abad lamanya mengalami perkembangan demi perkembangan sehingga pada suatu waktu terjadi pertengkaran/peperangan antara orang-orang MAYARI melawan satu kelompok yang dibawah Kapitan Tomatala. Mereka ini menurut ceritanya berasal dari Kepulauaan BANDAN yang berpindah ke HUAMUAL yang disebut oleh orang Portugis dengan nama VERANELA/WARANELA yang ingin menguasai pesisir HUAMUAL. Peperangan ini berlangsung dari generasi ke generasi tepi pada saat tertentu mereka memperoleh kemenangan sehingga banyak kelompok-kelompok yang keluar dari MAYARI dan sekitarnya. Ada kelompok yang berpindah ke ke Jazirah HUAMUAL dan yang lain ke Kepulauan GORONG. Kelompok yang tetap bertahan sampai saat ini di daerah itu yang sekarng mendirikan negeri Tihulale.

Kelompok yang berpindah ke HUAMUAL antara lain marga PORWAILA, menetap di LUHU, marga TUPAN berpindah ke suatu gunung disitu mereka mendirikan negeri nya yang disebut HENA TUPAN (Petuanan Kaibobu), marga MAKATITA berpindah ke ujung tangjung SIAL mendirikan negeri yang disebut TIHULESSY, dan marga-marga lain juga berada disekitar jazirah Huamual, antara lain marga MUAR, SAKARESY, SALEPUTY, TAHALELE, LULUSARY, dll. Sedangkan marga ANGKOTAMONY berpindah ke Kepulauaan Gorong, pulau Serang Laut.

Nenek moyang orang Hukurila menetap di Jazirah Huamual sampai masuknya pengharu China di Maluku (Pulau Seram) sehungga mereka menyebutkan jazirah Huamual dengan nama BATO CINA DO MUAR. Sebelum masuknya bangsa China dan berpengharu disana, daerah ini sudah mempunyai sebuah kerajaan yang namanya kerajaan HUAMUAL. Pada zaman itu orang-orang Huamual berada dibawah pengharu China sampai kedatangan masuknya agama Hindu dari India kira-kira abad ke-6 sampai abad ke-7.

Masuknya agama Hindu dengan membawa sebuah  perubahan budaya. Dalam perubahan itu, terjadilah sebuah peristiwa yang disebut Kolonisasi. Maka dengan kondisi ini terjadilah banyak perpindahan penduduk dari Huamual ke Pulau Ambon (jazirah Leihitu dan Leitimur). Perpindahan ini terjadi secara bergelombang.

Perpindahan Nenek Moyang

  1. MARGA MAKATITA (Gelombang Pertama)

Mereka berpindah dari Tihulessy (Huamual) dan berlayar menuju jazirah Leitimur Pulau Ambon. Mereka berlayar dengan kora-koranya yang diberi nama TOMAHALA dibawah pimpinan Upu Tita Manusou. Mereka berlabuh disebuah pantai yang berteluk dan terletak di bagian selatan Leitimur. Ditempat yang baru

Upu Tita Manusou menyebut teluknya menurut nama negeri di Huamual yakni Tihulessy. Sedangkan pelabuhannya diberi nama MAKA TATI LAKWAI (Maka). Setelah berada disitu Ia mengambil sebuah batu dari dalam sungai lalu meletakkannya sebagai batu bermula atau batu peringatan yang mengingatkan penyertaan UPU LANITE (TUNI AI LANITE KAI TAPELE) selama  dalam perjalanannnya hingga sampai pada tempat yang baru, sehingga tempat diberi nama SUPU YE HUANG.

Lokasinya di pinggir sungai besar. Ia juga menanam anakan sagu Tuni di atas labuang ssebagai tanda awal hidup baru.

Sungai yang besar itu diberi nama WAI RESI (WAI RUPA). Kemudian Upu Tita Manusou mendirikan negerinya yang pertama dengan nama AMAN HUA’ANG dengan jarak yang tidak jau dari tepi pantai.

Sebagai anak adat ALIFURU INA dia harus melaksanakan hukum adatnya yang telah diatur oleh datuk-datuknya di NUNU SAKU yang namanya hukum HEKA- LEKA. Hukum ini mengatur tentang menghargai dan menghormati orang yang lebih tua/lebih awal atau yang dituakan untuk diterima menjadi bagian dari orang yang lebih awal, salah satu syaratnya adalah harus menunjukkan kemampuannya melalui perang. Karena sejarah mencatat sebelum marga Makatita tiba di Leitimur Selatan sudah ada yang mendiami daerah tersebut yaitu satu kelompok yang dipimpin oleh Kapitan Pesolima yang berdiam di Gunung Sirimau.  UPU TITA MANU SOU kepala dari marga Makatita AMAN HUA’ANG mengirim utusannya kepada Kapitan Pesolima untuk melaksanakan perang adat sesuai hukum adat HEKA LEKA yaitu berperang untuk hidup yang baru.  Permintaan itu di terima tetapi diganti dengan permainan HELA ROTAN dengan alasan Kapitan Pesolima sudah melaksanakan adat itu dengan Kapitan SAMALELEWAI dari negeri URIMESENG.

Waktu pelaksanaannya tiba UPU TITA MANU SOU membawa masyarakatnya naik ke gunung untuk melaksanakannya sesuai dengan permintaan Kapitang Pesolima yang sudah menunggunya di puncak gunung yang tertinggi di Leitimur yakni Gunung HORIL. Disitu mereka mengadakan permainan HELA ROTAN yang diiringi dengan lagunya :

Hela, hela rotang e, rotang e
Tipa jawa, jawa e babunyi
Rotang, rotang sudah putus,
sudah putus ujung dua
Dua, dua baku dapa.

            Selesai permainan itu, kedua pemimpin mengangkat sumpah janji yang yang disebut dengan perjanjian “SAMATUTULUA”. Dalam perjanjian itu Kapitan Pesolima menyerahkan sebagian petuanannya kepada UPU TITA MANU SOU dengan sebuah gelar Kapitan Besar “SAMATUTULUA”. Nama ini sekaligus menjadi AS TANAH negeri yang diduduki oleh UPU TITA MANU SOU. Dalam perjanjian itu, Kapitan Pesolima berjanji bahwa UPU TITA MANU SOU turun ke pantai makan bia dan daun sungga tinggalkan kami disini makan Mangerung dengan daun Makweru. Setelah perjanjian itu dilaksanakan kembalilah UPU TITA MANU SOU (Kapitan Besar Makatita) turun dan tinggal menetap di Negeri AMAN HUA’ANG.

2. MARGA ANGKOTAMONY  (Gelombang Kedua)

Nenek moyang marga Angkotamony, mereka  datang dari kepulauan Gorong yakni dari salah satu pulau yang ada disana yaitu pulau Serang Laut. Mereka juga berpindah mencari tempat yang baru karena adanya peristiwa kolonisasi besar-besaran. Nenek moyang Angkotamony berlayar dengan kora-koranya yang bernama SOU MONY. Mereka berlayar menuju Leitimur di Pulau Ambon bagian Selatan, dan dalam pelayarannya mereka bertemu dengan kora-kora dari Huamual antara lain kora-kora TOUPEA, kora-kora PEILOKA, dan kora-kora SOUNUSI.

Dengan rasa senang dan bersyukur mereka sudah boleh bertemu kembali satu dengan yang lain karena sudah lama berpisah sebagai orang gandong, lalu mereka mengangkat sebuah lagu atau kapata yang bunyinya demikian :

               Te hale tum,  tum te, tu mo
   Raying baying reli bayang bayang reli o
               Siwa lima sopo rila puti nea o
Iya uhu hasa hasa maro maro o
               Nusa Huamual nusa tula gorong o
Sia pei ayang tula serang laut o 
Bei e mangaku hua amu arak o

            Ketika mereka sampai di darat, mereka mendirikan negeri yang diberi nama WAISURUSA. Negeri ini diatur per kelompok sesuai dengan asal kedatangan mereka.

  1. Lokasi yang pertama berkedudukan di sebelah timur yang disebut WAI SUI, dan ditempati  oleh Marga Angkotamony.
  2. Lokasi yang kedua berkedudukan di sebelah barat yang disebut HATU METE’ANG, dan ditempati  oleh Marga Porwaila.
  3. Lokasi yang ketiga berkedudukan di sebelah barat yang disebut HATU UI, dan ditempati  oleh Marga Muar, Lulusari, Sakaresy, Saleputy, dan Tahalele.

Kedatangan gelombang kedua diterima oleh Kapitang Makatita sebagai bagian dari negeri AMAN HUA’ANG.

Kapitang Makatita membagi petuanannya menjadi dua bagian yang berbatas di ERI (Harike). Sedangkan petuanan yang dimiliki orang-orang WAISURUSA berbatas dengan negeri yang sudah diatur  sebelumnya antara Kapitang MAKATITA dan Kapitang MAKATITA-LESSY (dari negeri Rutong) di Tanjung RIKI sampai di gunung tempat musyawarah antara tiga negeri yaitu negeri Soya (sebagai saksi) , Rutong, dan Hukurila yang berkedudukan di Batu Minong Air. Kesepakatan dua negeri ini dikenal dengan nama perjanjian “LOPORISA”. Di kemudian hari nama LOPORISA ditambah LUA untuk Hukurila dan URITALAI untuk Rutong. Penambahan nama ini disebabkan karena ada penambahan kelompok-kelompok yang datang kemudian setelah perjanjian itu terjadi. Kedua nama tambahan ini mempunyai pengertian yang sama.

3. MARGA TUPAN  (Gelombang Ketiga)

Kedatangan nenek moyang Tupan di Leitimur Selatan sebenarnya bukan untuk mencari tempat tinggal, tetapi mencari salah satu anak gadis dari Kapitan Tupan (SYALOKAPITANE) yang hilang dibawa lari kawin oleh Kapitan SOULISSA yang berdiam di pegunungan  WAI SANDALE (Negeri Lima) Awalnya mereka berlabuh  di pelabuhan MAKA TATI LAKWAI, dan disitu mereka bertemu dengan Kapitan MAKATITA. Selesai  menyampaikan maksud kedatangan mereka, ternyata anak gadis yang dicari itu tidak berada disitu. Kapitan MAKATITA menawarkan  SYALOKAPITANE untuk menjadi anggota masyarakat AMAN HUA’ANG sekaligus diangkat menjadi kewang/penjaga laut, tetapi tawaran itu ditolak. Upu Tupan kemudian melanjutkan perjalanannya tetapi Ia mendapat halangan (arus dan gelombang besar) di tanjung HA’OR, terpaksa Ia kembali memutar haluannya kearah timur. Sebelum melewati tanjong HIHAR ia juga mendapat halangan yang sama dan mengakibatkan kora-koranya pecah, terpaksa ia melabuhkan kora-koranya tepat di muara sungai WAI SIA.

Disitu Kapitang Tupan bersama keluarganya diterima sebagai warga WAISURUSA. Mereka diberikan tempat untuk mendirikan Mata Rumah Tupan yang diberi nama PEIMAHU.

PENYATUAN NEGERI WAISURUSA DAN AMANHUA’ANG

Nenek moyang WAISURUSA hidup dengan tenang dan damai, hanya ada beberapa hal yang menjadi masalah yaitu masalah ekonomi, karena mereka tidak mempunyai hutan sagu dan sering mengalami kekeringan pada musim kemarau panjang. Sehingga pada suatu ketika Kapitang Makatita memintakan kesediaan orang-orang  WAISURUSA untuk bergabung dengannya di AMANHUA’ANG, mengingat situasi dan kondisi yang sering dialami oleh saudara-saudaranya disana. Permintaan itu diterima oleh mereka, dan pada suatu waktu mereka berpindah mengikuti apa yang diinginkan oleh Kapitang Makatita.

Saatnya mereka berjalan menyusuri pantai, dan tiba di di atas labuang (MAKA TATI LAK WAI), disitu Kapitang Makatita dan seluru masyarakatnya menyambut kedatangan orang-orang dari  WAISURUSA dengan sebuah lagu yang dinyanyikan oleh Mata-Mata Ina, lagunya :

Hua   bawang   no
                 Tutu   uma   yeh
O   babari   ma’a   te
                 Mara   lope   ye
E   mu  salamat
                 Orang   tatua  basudara  e   Waisurisa

Setelah tergabung kedua negeri itu maka Kapitang Makatita berkenan menyempurnakan nama negerinya dari AMANHUA’ANG menjadi AMANHUAARI. Di negeri yang baru bagi orang-orang  WAISURUSA mereka hidup dengan damai penuh kelimpahan dengan hasil hutan dan hasil laut, mereka bisa menikmati air dengan sepuas-puasnya karena disini Kapitang Makatita memiliki pohon-pohon sagu yang cukup banyak, sungai Wai RESI yang besar. Tetapi kehidupan manusia tidak selalu aman pada masa perdagangan dan pelayaran di Nusantara banyak orang yang datang ke Maluku untuk mencari rempah-rempah, tetapi ada juga kelompok-kelompok bajak laut (perompak laut) yang berkeliaran di kepulauan Maluku seihingga masyarakat di pesisir pantai merasa terancam dan terganggu  sehingga pada waktu itu banyak negeri yang menyingkir ke pegunungan termasuk masyarakat negeri AMANHUAARI. Peristiwa ini terjadi sekitar abad ke-8.

PERPINDAHAN PERTAMA (abad ke 8 – 9)

Kapitang Makatita membawa masyarakatnya menyingkir di pengunungan. Disitu mereka bertemu dan bergabung dengan masyarakat dari Rutong. Ditempat yang baru ini Kapitang Makatita  memberikan nama HUKURILA AMAN yang disingkatkan dengan kata HORIL, dan nama ini diabadikan bagi gunung yang tertinggi di Leitimur Selatan. Ditempat ini nenek moyang tinggal selama ± satu abad lamanya. Mungkin karena keadannya sudah semakin membaik sehingga mereka berpindah lagi ketempat yang lebih dekat dengan pantai.

PERPINDAHAN KEDUA (abad ke 9 – 11)

Ditempat yang berikut ini lokasinya tidak jau dari negeri Ema sekarang, dengan nama yang masih sama yaitu HUKURILA AMAN. Di tempat ini nenek moyang tinggal cukup lama, kira-kira sekitar dua abad lamanya. Semasa nenel moyang ditempat perpindahn yang ke dua ini, mereka mengalami bencana alam yang sangat besar antara lain gempa bumi, tanah longsor  yang mengakibatkan hancurnya negeri itu. Dengan kondisi yang seperi itu, terpaksa  mereka haru mencari tempat yang baru untuk bermukim.

PERPINDAHAN KETIGA (abad ke 11 – 12)

Ditempat yang baru ini dengan nama negeri yaitu HUKURILA AMAN, hanya biasanya disebut HUA AM’ING. Penamaan ini karena disitu banyak tumbuh pohon pisang abu-abu. Mereka tidak bisa bertahan lama ditempat itu, karena lokasinya tidak memungkinkan  untuk mereka bertahan lama, mengingat peristiwa masa lalu yang banyak membawa korban. Sehingga mereka harus berpikir untuk mencari lokasi yang baru yang lebih baik dan aman utnk mereka tinggal.

PERPINDAHAN KEEMPAT (abad ke 12 – 15)

Di tempat perpindahan yang ke 4 ini dengan nama yang masih tetap sama  HUKURILA AMAN, dengan penyebutan nama yang sesuai dengan situasi dan kondisi karena daerahnya banyak ditumbuhi pohon manga hutan sehingga mereka menyebutnya dengan nama WEWE’UNG (WEUNE AUWE HUANG). Disaat nenek moyang Hukurila Aman berada disini, maka tercatat ada beberapa peristiwa penting, antara lain :

  1. Kedatangan Kelompok Latupessy

Pada saat nenek moyang berada di WEWE’UNG ada satu keluarga yang datang dari pulau Seram dibawah pimpinan Kapitan Latupessy, Ia diterima oleh Kapitang Makatita dan juga diberikan tempat untuk mendirikan negerinya pada petuanan   SAMATUTULUA yang berlokasi di atas labuang HAHILA. Mereka juga sudah dianggap sebagai saudara (pela).

2. Perang Kilang – Hukurila (1450 – 1523)

Peristiwa ini berawal dari hubungan percintaan yang gelap antara anak gadis Kapitan Makatita dengan anak laki-laki dari Kapitang Latupesy. Dalam hubungan yang tidak diketahui oleh kedua orang tua, terjadilah kehamilan yang tidak diterima oleh pihak Kapitang Makatita karena tidak sesuai dengan adat istiadat yang berlaku. Perbuatan yang keji itu menimbulkan permusuhan dan kebencian yang berlangsung dalam waktu yang lama sehingga Kapitang Latupessy dan keluarganya diusir dari petuanannya, terpaksa Ia bergabung dengan kelompok lain ditempat yang disebut Kayu Putih (negeri lama Kilang) yang dipimpin oleh Raja Papua yang datang dari Huamual (LESELA).

Permusuhan itu berlangsung sejak tahun 1450 – 1523. Sampai pada masa peralihan kepemimpinan dari Raja Papua ke Kapitang PATTIPERU. Permusuhan ini juga menggangu keamanan dan persekutuan PATASIWA di Leitimur. Sehingga UPU LATU PATASIWA mengambil kebijakan untuk menyelesaian permusuhan itu sesuai dengan hukum HEKA LEKA yang berlaku bagi masyarakat adat ALIFURU yaitu harus berperang dan hidup baru.

Peperangan itu juga diatur oleh lembaga adat PATASIWA . Sebelum berperang, kedua negeri harus menyiapkan benteng dan peperangan itu diawasi oleh kedua negeri dari URIMESENG yaitu negeri SIMA berada pada pihak Kilang dan negeri KAPA berada dipihak Hukurila. Peperangan dimulai pada waktu yang telah ditetapkan. Pasukan perang dari pihak Hukurila dipimpin oleh SIPA ANGKOTAMONY menyerang benteng Kilang yang berada di SUSUANI. Penyerangan itu berlangsung sangat seru sehingga banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak, sehingga di pihak Kilang dipukul mundur dan bertahan di benteng. Untuk mempertahankan benteng orang-orang perempuan diikutsertakan untuk mentrasport batu bagi pasukaanya di medan perang. Tetapi karena pasukannya yang tidak berimbang sehinga pihak Kilang mulai melemah dan dalam kondisi seperti itu SIPA ANGKOTAMONY berhasil merebut benteng SUSUANI, maka berakhirlah sudah pertempuran antara pasukan Kilang dan Hukurila yang dimenangkan oleh pasukan SIPA ANGKOTAMONY.

3. Angkat Pela Kilang – Hukurila (1523)

Sesuai dengan hukum HEKA LEKA yang menyatakan bahwa sesudah perang dan masuk pada hidup yang baru yang disebut angkat pela. Sebelum acara tersebut dilaksanakan, kedua belah pihak telah bermusyawarah untuk membicarakan jalannya proses angkat pela. Musyawarah itu dilakasanakan di atas sebuah batu yang disebut batu SANIRI yang berlokasi di muara sungai WAISURIKAPA. Waktu dan tempat telah diputuskan bersama. Tempatnya ditentukan ditepi sungai WAI SASIKE HUA (WES’UA). Disini masyarakat kedua negeri berkumpul untuk melaksanakan Hukum adat HERKA LEKA yang merupakan hukum yang sudah ditetapkan dari sejak leluhur keluar dari NUNUSAKU. Dalam acara ini sudah hadir Kapitang Makatita dan masyarakatnya dan dari pihak Kilang dipimpin oleh Kapitang Patiperu serta masyarakatnya yang disaksikan oleh dewan adat PATASIWA. Sebagai korban penghapus salah telah disediakan seorang anak kecil yang harus dikorbankan dan darahnya harus dimunum oleh kedua pihak yang berperang, tetapi TUNI AI  LESTALE LANITE KAI TAPELE (ALLAH) tidak menghendaki lagi menusia sebagai korban, karena Yesus Kristus sebagai Anak Domba Allah yang telah dikorbankan untuk menghapuskan segala dosa manusia, atas kehendak Yang Maha Kuasa  tiba-tiba muncullah dewa penyelamat/penolong  yang menjelma sebagai seekor kucing yang dikorbankan menggantikan anak manusia. Kucing diletakkan diatas sepotong kayu Lenggua (masih ada sampai sekarang).

Darah kucing diminum sebagai tanda perdamaiana abadi, darah sebagai lambang dari nyawa ganti nyawa. Pelaksanaan adat membunuh untuk hidup baru yang ditandai dengan korban penebus salah, sunggu-sungguh menuntut sikap kejiwaan/ moral yang benar dan yang baru. Korban penebus salah yang dilakukan disaat angkat pela adalah sikap pengenalan diri serta pengakuan dosa yang terus diupayakan untuk menyelesaikan segala sesuatu karena setiap persembahan korban yang didukung oleh janji dan kuasa sang pencipta yang mempunyai akibat dan potensi yang nyata.

Hal-hal yang ditambah dalam acara angkat pela  yakni :

  • Pergantian nama SIPA ANGKOTAMONY menjadi SIPA HAHIJARY NIWEL oleh Kapitan Patiperu dari Kilang
  • Pengembalian wilayah yang pernah diberikan oleh Kapitan Makatita kepada  Kapitan Latupesy untuk pihak Kilang dari Batu Tongka (di laut) sampai ditempat pengangkatan pela (WAI SASIKE HUA/WES’UA). 
  • Pemberian nama besar oleh Upu Latu Patasiwa kepada Kilang dengan nama SAMA SIMA AMA LATU dan untuk Hukurila LOPURISALUA.
  • Pemberian nama sungai oleh Upu Latu Patasiwa bagi Hukurila  adalah WAI SURI KAPA dan tempat yang menjadi benteng bagi Hukurila disebut KAPA NEHAHANG sedangkan bagi Kilang WAI SIMA sesuai dengan jasa dari kedua negeri dari Urimeseng yaitu Kapa dan Sima.
  • Diakhiri dengan angkat sumpah/janji yang intinya kedua negeri ini akan hidup bersama, saling membantu “Ale Rasa Beta Rasa”, “Potong di kuku rasa di daging. Ale pung susah beta pung susah, ale pung sanang beta pung sanang”. Setelah selesai proses angkat pela, masing-masing Kapitan bersama masyarakatnya kembali ke negerinya dan hidup seperti biasa.
  • Diantara tahun 1537 – 1540 nenek moyang orang Hukurila yang pertama kali dibaptis menjadi Kristen  Roma Katholik dimulai dari keluarga Porwaila yang kemudian menggantikan nama menjadi Telussa. Selanjutnya pembaptisan masal untuk orang-orang  Hukurila di tahun 1550 – 1560.

4. Perpindahan negeri Ema dari AMANHISIL (1475)

Nenek moyang orang Ema setelah dipindahkan dari Batu Itang (Naku), ke salah satu tempat yang diberi nama AMANHISIL , hanya karena negeri itu berada di posisi jalan raya sehingga ikut menggangu ketertiban dan kebersihan. Pada suatu waktu mereka ditegur oleh Upu Latu PATASIWA karena kedapatan kotoran-kotoran babi yang berhamburan dijalan. Sehingga mereka perlu dipindahkan lagi dari situ, untuk hal dimaksud dewan adat PATASIWA mengadakan perundingan membahas perpindahan mereka ke tempat yang lain. Dari hasil perundingan itu, mereka memutuskan untuk dipindahkan ke lokasi milik Kapitan Makatita.  Keputusannya diterima oleh Kapitan Makatita, dan disaat mereka masuk pada lokasi tersebut dalam sebuah acara adat, disitu Kapitan Besar Makatita menyambutnya dengan kapata adat yang intinya panggilan masuk “E Mae ….. Harike Ma …….. E Mae”. Ditempat inilah nenek moyang mereka menyebut negeri mereka dengan nama EMA. Dan ditempat yang baru ini mereka hidup berdampingan dengan nenek moyang orang-orang Hukurila. Tempat yang mereka diami disebut juga dengan nama SOA BAWA. 

5. Kedatangan Bangsa Portugis (1512 – 1605)

Kedatangan bangsa Portugis di Ambon, awalnya mereka menetap di tanah Hitu. Tiga belas tahun kemudian mereka diusir oleh orang-orang Hitu, mereka diantar oleh saudara-saudara kami yang tinggal di tanah Hitu yaitu orang HUKUNALA yang masih satu asal dengan nenek moyang Hukurila. Mereka lalu berdiam diteluk dalam termasuk wilayah PATASIWA.

Dalam  tahun 1537 orang-orang Portugis sudah bergaul dengan kepala-kepala negeri/Para Kapitan di Leitimur serta mulai mengabarkan Injil oleh Padri-padrinya yang awalnya dari negeri Hatiwe/Tawiri lalu mereka masuk ke AMANTELU yang pada waktu itu masih diperintah oleh Raja LATUCONSINA dan terus ke NUSANIWE yang menjadi kepalanya dari Mata Rumah PEA. Dari situ Injil mulai disebarkan ke negeri-negeri Leitimur (dari pantai sampai ke pegunungan). Waktu itu nenek moyang orang Hukurila masih tinggal di WEWE’UNG (WEUNE AUWE HUANG). Suatu ketika orang-orang dari marga Porwaila sedang menokok sagu ditepi sungai WAI RESI yang berdekatan dengan muara sungainya.

Tibalah perahu Portugis yang diantar oleh orang-orang Amantelu dan Nusaniwe. Mereka mulai berkenalan satu dengan yang lain, dan salah satu pertanyaannya adalah “Siapa Nama Upu Kalian” (ale sei ?) kemudian dijawab oleh salah seorang Bapak diantara mereka dengan jawabannya “Ite Luu’sa” yang dimaksudkan “Kami Ini Semua Satu Upu yaitu Upu Lu’u”. Dikemudian hari mereka mendapat nama  baru dari Porwaila menjadi  Telussa. Sejak itu mereka dipakai oleh Portugis untuk membantu misinya. Dari hasil pendidikan yang diberikan Portugis, sehingga mereka menjadi orang-orang terpenting di negeri Hukurila sekaligus menjadi pemimpin dalam masa peralihan  jabatan Kapitan ke jabatan Orang Kaya (Raja) di Negeri Hukurila (menurut catatan Kepala Soa Tomahala N. O. Makatita).

Sebelum orang-orang Portugis tiba di Ambon dengan membawa misi perdagangan, penduduk Leitimur (PATASIWA) belum menganut agama apapun yang dibawah dari luar karena sudah memeluk agama Hindu. Seterlah orang-orang PATASIWA takluk dibawah Portugis baru mereka menganut agama Kristen Roma Khatolik. Sebelum Portugis masuk ke Pulau Ambon sudah terjadi pembagian kekuasaan antara lain PATASIWA dibawah kerajaan Tidore dan PATALIMA dibawak kerajaan Ternate

6. Penyeranag Kaum Islam ke Wilayah Uli Kilang (1555)

Dari sejak tahun 1547 kegiatan pengkristenan/kristenisasi dilakukan oleh FRANSISCUS XAVIER. Keadaan di Leitimur sangat tidak aman karena mereka telah memeluk agama Kristen. Masih untung bagi negeri-negeri yang tinggal di pegunungan. Tapi keadaan menjadi lebih buruk waktu Sultan Hairun ditangkap dan dikirim ke Malaka serta dimasukkan dalam penjara sehingga menimbulkan kemarahan oleh kaum Islam.

Pasukan Islam yang dipimpin oleh KAICILI LILIATO datang dengan armadanya dari Ternate untuk menyerang negeri-negeri Kristen di Ambon. Satu armada memasuki dari Pantai Selatan dengan kekuatan yang cukup besar memasuki Labuang HAHILA. Mereka menyusuri air besar WAI SASIKE HUA/WES’UA. Sesampainya di HOSU, mereka membelok ke kanan dan ke kiri menuju dia negeri yang tinggal di bukit, yakni negeri Ema (Soa Bawa) dan Hukurila (WEWE’UNG/ WEUNE AUWE HUANG). Dalam situasi dan kondisi perang, nenek moyang sudah berjaga-jaga dan mereka sudah mempersiapkan diri. Hukurila pada waktu itu memiliki prajurit perang ± 100 orang laki-laki, telah diatur sepanjang  pesisir pantai, ada orang yang diberi tugas secara bergantian untuk terus memantau bila ada musuh biasanya mereka membunyikan gendang perang. Jau hari sebelum peristiwa itu terjadi kedua negeri telah mempersiapkan tempat pertahanannya di salah satu bukit yang disebut sampai hari ini dengan nama BENTENG untuk melindungi orang-orang perempuan dan orang tua yang sudah tidak berdaya, dan sepanjang tebing mereka telah memasang ranjau dan menyiapkan batu-batu besar bila ada penyerangan , batu-batu yang telah diikat itu diputuskan talinya sehingga pasukan dari pihak musuh berhamburan dan terperangkap pada sungga-sungga (ranjau) yang telah dipasang. Pasukan perang dari Hukurila dan Ema membiarkan mereka masuk sampai pada sebuah lembah yang namanya HORU, disitulah mereka tekurung dan dihujani dengan batu-batu dari tebing-tebing sehingga mereka tidak berdaya untuk menyelamatkan diri. Di lembah itulah banyak pasukan Islam yang mati terbunuh sehingga nama tempat dan sungainya disebut AIR SALAM.

Pasukan Islam yang selamat menuju Saparua, mereka juga sempat membakar habis rumah-rumah masa garam di NUAR milik orng orang Hukurila dan Ema. Pada masa itu adalah masa yang paling sulit bagi negeri-negeri yang sudah dikeristenkan. Semua negeri pesisir di Leiitimur habis dibakar, kecuali negeri-negeri yang ada dipegunungan yang dapat bertahan. 

7. Masa Kolonialisasi Belanda di Ambon (1605 – 1945)

Sementara Portugis sedang berkuasa di Maluku dan berpusat di Leitimur sudah datang penjajah baru yankni bangsa Belanda secara diam-diam mereka masuk di tanah Hitu pada tahun 1598. Kapal-kapal Belanda itu dibawah pimpinan YACOB VAN NECK dan kawan-kawannya. Mereka diterima baik oleh Kapitan Hitu yang sudah tua sekali (dia hidup  dimasa 4 Sultan Ternate). Terjadilah pertikaian antara Portugis dan Belanda yang melibatkan orang-orang Kristen dalam peperangan itu. Prajurit Kapitan Makatita juga terlibat dalam perang membantu Portugis melawan Belanda pada tahun 1602. Mereka menyerang negeri Asilulu  yang sudah masuk Kristen tetapi kembali lagi ke Islam. Rajanya yang bernama MELKIOR ditangkap, tetapi nasibnya tidak jelas. Kekuatan Portrugis yang terakhir bersama orang-orang Kristen Leitimur menyerang negeri-negeri di Leihitu mulai dari Negeri Lima, Seith, Hitu Lama dan peperangan itu dimenangkan oleh Portugis bersama prajurit-prajurit Kristen dari Leitimur.

Pada tahun 1605, belanda kembali langsung ke Ambon untuk menepati janjinya dengan Hitu dibawah pimpinan Laksamana VAN der HAGHEN dengan Sembilan buah kapal masuk dihadapan kota Laha membuat Gubernur Portugis GAZPARS de MELLO dengan tidak berdaya menyerah kepada Belanda. Kota Laha tinggal 50 orang Portugis serdadu dengan tidak ada makanan unytuk bertahan.

Pada tanggal 23 Februari 1605  GAZPARS de MELLO menyerahkan kota Laha kepada VAN der HAGHEN sehingga kotanya diubah menjadi VICTORIA dengan perintah segera Portugis meninggalkan Ambon sebagian berangkat ke Solor dan kebanyakan ke Malaka, dan juga sampai ke pulau Sebu, tanpa membawa senjata dan harta miliknya. Bagi yang sudah beristri Ambon diperbolehkan tinggal jika mau setia kepada Belanda. 600 orang Portugis berangkat dari Ambon sedangkan 32 keluarga boleh tinggal dan menetap di Ambon. Tindakan VAN der HAGHEN sangat menggelisahkan orang Kristen di Leitimur karena takut ada pembalasan kaum Islam dari Tanah Hitu, sehingga pada waktu iti banyak sekali orang-orang kampung yang sudah Kristen menyingki ke gunung-gunung. Tiga hari kemudian, LORENZO MOZONIO menemui VAN der HAGHEN untuk membicarakan basib orang-orang Kristen di Ambon, selain itu soal harta milik (asset gereja) dan minta kebebasan beribadah.

Pada tanggal 26 Maret 1605, DIAGO BARBUDO seorang Portugis yang sudah lama menetap dan Ambon bersama dengan dua Raja dari negeri Soya (Da Silva) dan Raja Kilang (de Queljoe) bersama orang-orang kaya dari negeri-negeri Kristen di Leitimur antara lain :

  1. Atui (Hatiwe)
  2. Taury (Tawiri)
  3. Nacu (Naku)
  4. Atala (Hatalae)
  5. Puta
  6. Seri
  7. Amaurse (Amahusu)
  8. Ema
  9. Okorila (Hukurila)
  10. Aousa (Ahuseng
  11. Anthomuri (Hutumury)
  12. Routong (Rutong)
  13. Ale (Halong)
  14. Baguelo (Baguala)
  15. Soul (Suli)
  16. Vay (Wai)
  17. Emantelo (Amantelu)
  18. Oucanar (Hukunal)
  19. Capa (Kapa)

Dua Puluh (20) negeri Kristen pada saat itu ikut menandatangani surat perjanjian yang intinya setia dan takluk kepada “STATEN VAN HOLAND”, dan minta perlindungan karena takut pad pihak Islam.

Masa Pemerintahan Orang Kaya Telussa (1615 – 1628)

Di zaman pemerintahan Belanda dengan sitem pemerintahan yang baru, dengan peralihan kekuasaan dari jabatan Kapitan dialihkan ke jabatan  orang Kaya.  Jabatan ini pada pertama kalinya di negeri Hukurila dipegang oleh marga Telussa dari  Mata Rumah HATUMETE’ANG. Ia diangkat pada masa pemerintahan Gubernur VOC pertama FREDRIK de HOUTMAN. Pada masa pemerintahan Telussa, terjadi beberapa peristiwa penting antara lain :

  1. Rakyat Leitimur termasuk orang Hukurila mulai dipaksa untuk mengayu kora-kora.
  2. Pada tahun 1625 mulai dengan perang hongi dimana rakyat Leitimur dan Lease dipaksa mengayu kora-kora tanpa dibayar, dan perbekalannya ditanggung sendiri. Peperangan dimaksud untuk melawan saudara-saudaranya di Huamual dimana beribu-ribu cengkeh dikuliti, ditebang, negeri-negeri dibakar dan kebun kebun cengkeh dimusnahkan.
  3. Pada tahun 1628 twrjadilah perang besar di Leitimur yang diberi nama PERANG AMBON I, orang kaya Telussa bersama rakyatnya turut berperang melawan Belanda. Akibat dari peperangan itu, VAN CORCUM memerintahkan menghukum negeri-negeri (termasuk Hukurila) yang terlibat dalam peperangan itu. Atas perintah VAN CORCUM semua Baileu dibakar dan Batu-Batu Teung dibuang ke laut. Baileu negeri Hukurila yang ada di WEWEUNG dibakar dan Batu Peringatan yang diletakkan oleh Kapitan Makatita pada pertama kali tiba di Leitimur Selatan dibuang ke laut. Batu itu dibuang karena dianggap sebagai penyembahan berhala yang menguatkan mereka dalam peperangan. Dari peristiwa itu, orang kaya dari marga Telussa diganti dengan Benjamin Muar .

Masa Pemerintahan Orang Kaya BENJAMIN MUAR (1628 – 1651)

Orang Kaya BENJAMIN MUAR dianggap sebagai orang yang cakap, sehingga iya ditunjuk oleh pemerintah VOC untuk menjadi orang kaya di negeri Hukurila. Pada saat Benjamin Muar diangkat, orang Hukurila masih tinggal di WEWE’UNG  (WEUNE AUWE HUANG).

Dimasa pemerintahannya, ada banyak hal penting yang terjadi negeri Hukurila antara lain :

  1. Atas perintah pemerintah Belanda (VOC) negeri-negeri di pegunungan (termasuk Hukurila) diperintahkan turun ke pantai, tetapi atas pertimbangan BENJAMIN MUAR bersama lembaga adatnya memutuskan untuk menetap disuatu tempat yang tidak jauh dari WEWE’UNG  (WEUNE AUWE HUANG) , dimana tempatnya disebut BATU BULAN. Mereka tidak langsung ke pantai karena lokasinya penuh dengan Hutan sagu. Nama BATU BULAN karena ditempat itu nenek moyang menemukan sebuah batu yang bundar seperti bulan kemudian dipakai menjadi Batu Teung PEIMAHU.
  2. Dalam masa pemerintahan BENJAMIN MUAR banyak hal yang terjadi menimbulkan penderitaan yang terjadi bagi rakyat, perang berkobar di Ambon, Lease, dan Seram. Dalam tahun 1631 berlakunya system Extirpasi sebagai alat yang ampuh oleh para Gubernur VOC di Ambon. Penyerangan ke daerah-daerah pemukiman, terjadilah Kristenisasi maupun Islamisasi. Dalam tahun 1632 penyerangan Belanda ke Pulau Seram, rakyat Ambon (termasuk Hukurila), dan Lease dikerahkan untuk berperang dan pemusnahan pohon-pohon cengkeh dan beberapa kampung dibakar. Sebagai tindakan pembalasan GIMELAHA LELIATO memimpin penyerangan ke beberapa negeri Kristen. GIJSELS membawa pasukan dari Leitimur berangkat ke Seram Laut untuk pedagang-pedagang luar daerah yang berpusat disana. Dari Seram Laut, mereka kembali ke Huamual. Ada beberapa orang kaya dan Raja di Leitimur (termasuk orang kaya BENJAMIN MUAR) yang mulai melawan dan tidak mau tunduk  kepada Belanda. Pemberontakan  terjadi juga di Kepulauan Lease, Jazirah Hitu, dan Huamual.

Di Leitimur pemberontakan yang melibatkan orang-orang kaya (BENJAMIN MUAR) mereka dipimpin oleh YOHAN PAIS, pembantu pendeta di Hatiwe yang mempunyai pengharu besar dikalangan Kristen. Ia bekerja sama dengan pemuka Islam yaitu MAJIRA wakil dari Ternate. Kedua tokoh ini bersepakat untuk mengusir Belanda dari Maluku.

BENJAMIN MUAR, orang kaya Hukurila bersama  rakyatnya ikut mengusir penjajah Belanda dari Tanah Ambon. Peristiwa itu disebut PERANG AMBON II.

Dalam peristiwa itu, banyak orang Hukurila yang gugur dalam perang, sedangkan yang hidup ditahan dan dibuang keluar Ambon. Ada yang melarikan diri ke pulau-pulau lain dan menggantikan namanya. Dari peristiwa itu, jumlah jiwa orang Hukurila mulai berkurang. Contohnya marga Muar dari sejak itu menggantikan namanya dengan marga PAOL .

Pada waktu nenek moyang orang Hukurila turun dari negeri WEWE’UNG  (WEUNE AUWE HUANG) ke Batu Bulan meninggalkan beberapa keluarga Makatita yang tidak ikut turun bersama-sama dengan Orang kaya BENJAMIN MUAR, lalu mereka menetap sampai sekarang di HUAAMIN (negeri yang ke-5). Mereka menetap di negeri Ema sebagai orang yang dituakan karena mereka adalah mata rumah asli dari keturunan kapitan Makatita yang menjadi kepala ATAS (AS) TANAH  SAMATUTULUA.

Masa Pemerintahan Orang Kaya BASTIAN ANGKOTAMONY (1651 – )

Beberapa hal juga dialami nenek moyang Hukurila pada masa pemerintahan BASTIAN ANGKOTAMONY, situasi pada waktu itu juga belum stabil di masa kekuasaan Gubernur VOC de VLAMING.

de VLAMING juga terkenal sebagai Gubernur yang bengis, antara lain :

  1. Pemusnahan kebun cengkih di Huamual, Kelang Manipa, dan Buano terus berjalan. Pada tahun 1655 terjadi pemusnahan besar-besaran kebun cengkih dengan tujuan memutuskan hubungan pedagang cengkih dari luar Maluku dengan penduduk setempat.
  2. Belanda (VOC) mengkonsentrasikan penanaman cengkih di Pulau Ambon salah satu tempaynya di petuanan Negeri Hukurila yaitu di tanjung HIHAR. Penanaman cengkih ini milik VOC dikerjakan secara paksa. Pekerjaan itu diwajibkan oleh semua penduduk yang ada di Leitimur secara bergantian tanpa diberi upah.  de VLAMING memerintahkan rakyat harus menanam 120.000 pohon cengkih di Leitimur dan di Leihitu. Tetapi upaya penanaman itu tidak mencapai target karena terganggu oleh keamanan sehingga Belanda harus terus berkonsentrasi menyangkut pada pertahanan. Pada waktu itu juga de VLAMING dengan anggota Landraad Ambon berangkat ke Huamual dan Pulau sekitarnya dengan tindakan meminadahkan penduduknya ke pulau-pulau lain seperti Ambon dan Lease, penduduk Huamual yang beragama Islam dipindahkan ke Leihitu sedangkan yang beragama Kristen dipindahkan ke  Leitimur dan Lease, penduduk Kelang, Manipa, Buano dipindahkan ke Huamual dalam jumlah yang cukup banyak sekitar 12.000 orang harus meninggalkan negeri-negerinya di Huamual. Untuk mengisi kekosongan penduduk di Huamual, VOC memindahkan penduduknya dari Kelang, Manipa, dan Buano. Orang-orang Buru dan Ambalau dipindahkan ke Kelang, Manipa, dan Buano. Orang Nusalaut dipindahkan ke pulau Ambalau.

Nenek Moyang Orang Hukurila berada di Batu Bulan berada dibawah pimpinan beberapa Orang Kaya antara lain :

  1. David Hahijaryniwel sebagai Orang Kaya yang ke-4
  2. Yacobis Hahijaryniwel, Orang Kaya yang ke-5
  3. Lamberth Hahijaryniwel  I, Orang Kaya yang ke-6
  4. Benjamin Porwaila, Sekretaris Negeri/Juru Tulis  
  5. Anthony E. Y. Hahijary, Orang Kaya yang ke-7

Pada masa pemerintahan Anthony E. Y. Hahijary Orang Kaya yang ke-7, Ia terkenal sebagai Orang Kaya yang sangat berani dan tegas, Ia memiliki spiritual yang tinggi sehingga membuat banyak pihak yang kurang bersimpati dengan sikap yang dimilikinya.  Nenek moyang Hukurila yang masih berada di Batu Bulan mengalami beberapa kali kesusahan karena terjadi bencana alam (gempa bumi), mengakibatkan ada beberapa rumah penduduk yang hanyut terbawa longsor, sehingga timbul keinginan untuk memindahkan negeri ke tempat yang lebih aman. Dengan alasan yang lain, orang-orang perempuan terlalu menderita karena mengambil air terlalu jauh. Rencana pembangunan negeri yang baru didukung oleh Guru Jemaat LAMBERTHUS de FRETES anak negeri Hukurila yang orang tuanya berasal dari Kilang (yang sudah menetap di Hukurila sekitar tahun 1850).

Rencana pembangunan negeri yang baru itu dilakukan melalui suatu musyawarah bersama antara Saniri negeri dan Majelis Jemaat. Walaupun dalam musyawarah itu ada beberapa keberatan antara lain :

  1. Lokasi yang direncanakan itu merupakan lumbung ekonomi negeri karena banyak rumpun sagu sebagai makanan pokok masyarakat.
  2. Tenaga kerja yang ada di negeri sangat sedikit.

Setelah dipertimbangkan dengan kondisi negeri yang sering dilanda bencana alam (gempa bumi) yang mengakibatkan kerusakan-kerusakan, maka akhirnya rencana itu diterima baik oleh semua pihak. Kedua alaasan itu terjawab dengan keputusan untuk meminta bantuan dari negeri-negeri tetangga dan lokasi yang dipakai untuk pembuatan negeri telah disepakati secara adat sehingga semua hak milik tanah dati keluarga-keluarga yang termasuk dalam lokasi pembangunan telah diserahkan penuh untuk menjadi pemukiman. Sebelum perkerjaan itu dimulai, Orang Kaya Anthony E. Y. Hahijary dan Guru Jemaat LAMBERTHUS de FRETES diberikan kepercayaan untuk membuat pendekatan dengan para pemimpin/tokoh-tokoh masyarakat dari negeri-negeri tetangga antara lain :

  1. Negeri Kilang
  2. Negeri Ema
  3. Negeri Naku
  4. Negeri Hatalae

Setelah mendapat dukungan dari negeri-negeri tetangga, maka dimulailah pekerjaan pembangunan negeri baru yang dimulai pada tanggal 15 Mei 1898. Pekerjaan itu dilaksanakan secara gotong royong (masohi).

Negeri Hukurila yang baru (negeri yang ke-8) dibangun atas dasar “Cinta kasih yang kuat dan persaudaraan yang rukun sehingga tak boleh dilupakan oleh anak cucunya. Pekerjaan tersebut dilakukan selama 5 tahun dengan susah payah dan sengsara yang amat dalam.

Negeri ini dibangun dalam bentuk persegi empat yang yang terdiri  tiga jalan utama dan tujuh lorong, dan dua sumur.

  1. Jalan Utama
  2. Yang terletak ditengah negeri diberi nama Kilang Straat
  3. Yang terletak di samping kiri negeri diberi nama Hatalae Straat
  4. Yang terletak di samping kiri negeri diberi nama Ema Straat
  5. Yang terletak kearah pantai diberi nama Naku Straat
  • Lorong dari arah laut
  • Lorong Tou Pea
  • Lorong Pei Mahu
  • Lorong Pei Loka
  • Lorong Sou Nusi
  • Lorong Sou Moni
  • Lorong Tomahala
  • Lorong Lopurisalua
  • Sumur milik negeri
  • Sumur Pei Mahu
  • Sumur Sou Nusi

Peresmian dilaksanakan tepatnya pada tanggal 23 FEBRUARI 1903 sekaligus merupakan pengucapan syukur atas berkat dan kasih Allah yang telah menuntun umatnya melewati pekerjaan yang berat dan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya bagi negeri dan jemaat tetangga yang turut membantu dalam penyelesaiaan pembangunan Negeri Hukurila yang ke-8 dengan tidak mengurangi segala budi  baik yang telah disumbangkan bagi pekerjaan pembangunan negeri Hukurila yang baru,  maka dengan ini nama-nama  jalan hanya dapat diabadikan menurut nama-nama negeri yang telah membantu penyelesaiaan pembangunan negeri.

Setelah negeri Hukurila yang baru diresmikan, maka berdiamlah marga-marga  yang  turun dari Negeri Lama/Batu Bulan, antara lain :

  1. Makatita
  2. Hahijary
  3. Angkotamony
  4. Porwaila
  5. Tupan
  6. Maitimu
  7. de Fretes
  8. Marthen
  9. de Queljoe